Thursday, May 10, 2007

By Glenn Marsalim

Tips Bikin Iklan yang Lebih Baik

Semenjak pertama kali buka-buka iklan, gue jatuh cinta pada iklan-iklan klasik zaman David Ogilvy, Leo Burnett, Bernbach dan banyak lagi. Sampai sekarang banyak iklan dari era tersebut masih dimuat pada buku-buku iklan masa kini. Dan sampai sekarang, siapa bisa lupa iklan Rolls Royce Alarm Clock? Lemon VW? Buat gue pribadi, iklan pada zaman itu adalah literatur yang sampai sekarang masih sering gue buka.

Saat ini, gue punya satu pertanyaan. Dari mana para guru periklanan dunia itu mendapatkan inspirasinya? Dari mana mereka mempelajari tentang iklan? Yang pasti, belum ada Archive. Apalagi internet. Tapi bagaimana iklannya bisa mengembara melintasi benua dan tetap relevan untuk hampir semua umat di dunia? Apa inspirasi Bernbach, sehingga iklannya bisa berlayar puluhan tahun dan setiap kali melihatnya kita masih bisa mengaguminya?

Perasaan gue mengatakan, kehidupan lah inspirasi mereka. Perasaan gue ini diciptakan oleh beberapa fakta.

Mustahil untuk siapapun mendapatkan beasiswa dalam bidang sejarah dari Christ Church College, Oxford, kalau dia tidak tertarik dengan kehidupan dan manusia. Dia adalah David Ogilvy.

Seorang jurnalis lulusan University of Michigan pasti tidak akan menjadi jurnalis kalau dia tidak memiliki ketertarikan pada sekitarnya. Pada kehidupan dan manusianya? Dan jurnalis itu adalah Leo Burnett.

Dan masih banyak lagi guru-guru iklan dunia, yang tidak sekolah iklan model DesKomVis, Graphic Design, Komunikasi dan lainnya seperti sekarang ini.

Dari itu semua, gue mengambil kesimpulan, guru terbaik untuk bikin iklan adalah kehidupan kita. Sekitar kita. Orang-orang di sekililing kita. Dan bukan Archive, Cutting Edge atau buku-buku pemenang iklan lainnya.

Karena memiliki keyakinan ini, gue agak kebingungan setiap kali ada yang bilang "Aku pengen ngobrol2 sama Glenn. Pengen belajar soal iklan. Gimana sih caranya dapetin ide?" Bingung karena sampai sekarang iklan adalah misteri buat gue. Dan tidak pernah terbersit sedikitpun untuk memecahkan misteri itu. Dan ketika gue jawab "Mungkin kita harus jadi lebih peka pada sekitar kita. pada orang-orang di sekeliling kita. Dengar dan mendengarkan. Lihat dan memperhatikan. Mencoba memahami." Mereka menjawab "Aduh agak terlalu abstrak. coba kasih tips-tips dan kiat-kiat cara singkat bikin iklan!"

Seandainya gue tau, pasti udah gue kasih tau. Sayangnya gue gak tau. Mungkin gue masih bodoh. Tapi William Bernbach pernah bersabda:
"I think I had the advantage of not knowing too much about advertising, and therefore I could be fresher and more original about it. As soon as you become a slave to the rules, you’re doing what everybody else does; when you do what everybody else does, you don’t stand out."

Dan sekarang gue berpikir, mungkin ada baiknya kalau orang iklan bukan lulusan sekolah iklan. Ada baiknya kalau buku-buku iklan, ditiadakan dari laci kita. Ada baiknya kalau kita menjadi katak dalam tempurung. Karena di tengah zaman yang serba pandai dan teoritis, di tengah era yang disebut-sebut sebagai globalisasi ini, menjadi bodoh dan naif bisa jadi menghasilkan karya yang lebih jujur, orisinal dan segar.


---

NB: Tulisan ini gue dedikasikan untuk semua teman yang punya keinginan besar masuk dalam dunia iklan. Tapi karena satu dan lain hal, tidak bisa dan tidak mampu bersekolah di sekolah iklan.

Wednesday, May 9, 2007

Kampanye Anti Rokok Sendiri (bag 1)

Sudah hari ke sembilan, Kampanye Anti Rokok Sendiri selama sebulan digalakkan.
Tidak merokok bagi sebagian orang yang tadinya merokok merupakan sebuah pilihan dan bagi sebagian lainnya mungkin sebuah kewajiban. Tetapi merokok bagi sebagian orang yang tadinya tidak merokok adalah kewajiban, sebagian lainnya adalah keterusan.

Yah... keterusan pada awal yang coba-coba. Katanya sehabis makan kalo tidak merokok itu rasanya seperti "dipukulin sama orang cnai". Begitu katanya. Ah, sekali lagi memang "katanya" itu tidak bertanggung jawab.

Merokok adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Dalam pergaulan ketika kita mati gaya, rokok setia menemani sehingga gaya menjadi lebih hidup. Memang hidup menjadi lebih hidup. Atau dalam kesendirian yang melamunkan angan dan pikiran, merokok adalah angan tersendiri. Sebuah obsesi yang tiada habisnya. Atau begini, ketika dalam perjalanan jauh, merokok adalah sebuah pengalaman yang tidak tergantikan. Coba kalian rasakan sendiri, bagaimana rasanya. Feel it! Mmm... bisa juga ketika kita tidak dihormati oleh orang lain, merokok lah kamu agar dihormati. Orang lain akan melihat kamu, orang lain akan melihat siapa kamu yang pandai mengekspresikan diri. Sehingga saat itulah mereka akan menggandeng kamu, seakan kamu adalah bagian dari mereka. Seseorang yang ekspresif. Merokok juga bisa mencirikan apakah seseorang bakat menjadi pemimpin atau bukan. Karena dalam sebuah kelompok (gank) kita - dulu waktu kecil kan suka tuh main gank-gank ngan - jika siapa dari kita yang berani merokok duluan adalah dia pemimpin kita. Sehingga yang lain akan mengikuti. Yah... yang lain memang hanya bisa mengikuti. Bahkan dengan merokok sisi nasionalisme kita bisa terbentuk lho... Kita akan tenggelam dalam nuansa biru dan damainya Indonesia. Lupakan bahwa Indonesia adalah negara yang tidak menghormati HAM (menurut Bono lho).

Ah... sebuah pembenaran dari para produsen itu. Tertipu? Tidak juga. Karena rokok memiliki penikmatnya masing-masing. Kita merokok karena sebuah rasa yang diberikan. Berbeda? Tentu saja setiap rokok menyuguhkan rasa yang berbeda-beda. Sehingga dari situ juga kita dapat melihat dan menilai kesetiaan seseorang. Begitu katanya... (ingat "katanya" adalah tidak bertanggung jawab)

Jadi apa yang sudah dihasilkan dengan "Kampanye Anti Rokok Sendiri" ? Enam bungkus rokok jawabnya.

Besok harus lebih baik! Mari!