Saturday, March 29, 2008

Undo? No fix it!

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat berkomentar di blog yang kebetulan milik pasangan saya. Isi komentar itu adalah tentang kehidupan yang bisa di "undo atau pun redo".

Saya berkomentar tentang kehidupan dengan mesin waktu sebagai penyempurna dari feature baru kehidupan. Yakni "undo dan redo". Dimana kita bisa mengulangi masa yang telah lewat untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu tersebut dan atau mempercepat masa untuk melihat keberhasilan kita di masa yang akan datang.

Tetapi ternyata dunia tidak atau belum menyediakan perangkat keras mesin waktu dengan feature tersebut. Sangat disayangkan memang, tetapi memang lebih baik tidak ada.

Tepatnya beberapa jam yang lalu, kira-kira pukul 9 malam tadi. Sebuah kesalahan besar telah saya perbuat. Dimana saya tanpa sengaja menghapus beberapa file pekerjaan yang masih dalam proses penyelesaian. Tiga buah file digital imaging lengkap dengan lay out jadi ditambah beberapa doodling serta wordling dari beberapa konsep untuk pekerjaan yang lain.

Tanpa sengaja di akhir minggu yang seharusnya bisa saya nikmat dengan sangat tenang dan menurunkan kapasitas adrenalin yang telah penuh dalam seminggu ini, ternyata justru membludak dan tumpah ruah bersama emosi yang tertahan sehingga "menghangatkan" sendi-sendi dan ruas-ruas kepala. Pada akhirnya saya hanya bisa mengelus dada dan mengambil nafas panjang memikirkan tentang feature "undo".

Berharap dengan feature baru yang dimiliki teknologi sekarang, recovery data...

Dan seperti yang dikatakan oleh pasangan saya untuk menenangkan saya, "life can't be undo but it can fix".

And bro... I'll fix it... Just give me a time.

Sunday, March 16, 2008

Nikmatnya Menjadi Orang Apatis Bag 2 (Kosong dan Nyaring)


Suatu hari di sebuah warung kopi terjadi perbincangan yang serius antar warga sekitar yang setiap pagi selalu meluangkan waktunya untuk "ngupi-ngupi dan ngeruti".

Awal perbincangan mereka adalah tentang seorang warga yang sepertinya tidak tahu tata krama kepada warga sekitar karena tidak mensosialisasikan mereka kepada warga baru yang baru saja pindah ke lingkungan mereka. Kebetulan sekali warga yang baru pindah ini menempati rumah di sebuah blok yang berdampingan dengan rumah seorang warga yang mereka anggap tidak tahu tata krama tersebut.

Mereka kasak-kusuk di warung kopi itu, mengkritik tentang pola komunikasi yang tidak sehat menurut mereka. Mereka menilai telah terjadi ketimpangan komunikasi dalam kampung itu.

Dalam suasana, kasak-kusuk itu tiba-tiba warga yang mereka anggap tidak tahu tata krama muncul dan memesan kopi kepada ibu penjaga warung. Langsung saja dengan serta merta seluruh warga menghardik dan menuduhnya sebagai warga yang tidak tahu sopan santun. Mereka mengatakan, bahwa tindakannya sangat tidak sopan, tidak tahu tata krama, dan memalukan. Sang warga yang baru saja datang ini pun bingung, kenapa masalah seperti ini kok menjadi heboh berat selayaknya krisis pangan? Cuma sekedar mau kenalan saja kok diperbincangkan dengan sangat serius seperti ini? Hanya karena warga baru itu dekat karena rumahnya berdampingan dengannya kok menjadi persoalan?

Karena menurutnya hal ini adalah hal yang remeh temeh untuk diperdebatkan, sang warga tertuduh ini pun dengan polos meminta maaf jika memang salah. Lalu dia berkata,

"Bapak-bapak sekalian, saya bingung lho, kok bapak-bapak gak berani kenalan sama warga baru yang disalahin saya? Lagipula ketika awal dia datang, kita semua selamatan di rumahnya?", katanya.

"Lha wong, dia juga sudah kenal sama bapak-bapak sekalian...", lanjutnya sambil ngeluyur pergi meninggalkan obrolan warung kopi yang tidak bermutu itu.

Beberapa hari kemudian, diadakanlah sebuah rapat warga. Hampir seluruh warga hadir, pertemuan itu cukup istimewa. Karena sebelumnya belum pernah ada agenda pertemuan yang ingin membicarakan pola komunikasi dan pola berhubungan antar warga seperti sekarang ini. Selama ini hubungan antara warga baik-baik saja. Setiap warga memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi dan cukup harmonis. Tetapi kali ini beberapa pihak dari kampung itu sepertinya sangat mempermasalahkan kedekatan salah satu warga baru dengan lainnya. Dan itu mereka anggap tidak sehat.

Entahlah apa yang mereka pikirkan, lha wong warga yang berdekatan ini sebenarnya adalah saudara jauh. Jadi sebenarnya istri dari warga yang dituduh tidak tahu tata krama komunikasi warga ini adalah cucu dari adiknya kakek sang suami dari warga yang baru tinggal itu. Yang kebetulan juga anak kedua dari warga baru ini teman sekolah dari anak ketiga warga tertuduh. Belum lagi pembantu mereka berasal dari kampung dan dusun yang sama dan memiliki pertalian saudara juga. Dimana pembantu warga tertuduh itu adalah keponakan dari kakak iparnya saudara sepupu si warga baru. Jadi tidak salah toh, jika mereka lebih dekat?

Dalam pertemuan itu, sang warga yang dituduh tidak tahu sopan santun kewargaan datang terlambat. Acara sudah berjalan cukup lama. Setelah memperhatikan perbincangan yang berkembang, warga tertuduh ini memutuskan untuk tidak banyak berbicara. Karena sudah ada beberapa warga yang mengakomodir pokok pembicaraan yang ingin disampaikannya. Karena beberapa warga lain ini, mungkin merasa bingung. Karena memang di kampung itu tidak terjadi permasalahan warga yang serius, terutama masalah komunikasi antar warga, semua tampak normal dan tidak ada masalah. Malah sempat, salah seorang warga berkomentar, jika memang tidak ada apa-apa, buat apa pertemuan ini, kita aja kali nih disini yang mengada-ngada bahwa telah terjadi apa-apa. Dengan senyum kecil warga yang tertuduh ini semakin membenarkan persepsinya tentang obrolan "kosong" di warung kopi tempo hari. Semuanya hanya sebuah tong kosong, tidak ada isinya. Sekedar mencari kambing hitam untuk dipersalahkan untuk kepentingan eksistensialis beberapa warga.

Benar saja memang, keputusan akhir dari pertemuan itu adalah sebuah pertemuan warga rutin untuk mengakrabkan seluruh warga di kampung tersebut. Tetapi waktu dan tempat serta perencanaan pertemuan rutin itu tidak dibahas lebih lanjut. Sudah sampai disitu saja. Tidak jelas. Kosong. Nyaring bunyinya. Dan yang lebih menggelikannya lagi, bahwa ide pertemuan rutin yang seperti ini pernah dilontarkan seorang warga beberapa waktu sebelumnya di warung kopi juga. Tetapi warga yang lain saat itu mencemooh dan mengganggap pertemuan seperti itu buang-buang waktu dan tidak produktif. Dan yang paling lucu dan menggelikan adalah bahwa sampai hari ini tidak ada sosialisasi formal ataupun informal lewat warung kopi tentang hasil pertemuan warga tempo hari kepada warga lain yang tidak sempat datang.

Mmm... Pernah dengan bajaj berjalan ngebut di sebuah terowongan yang panjang dan kosong...?

Friday, March 14, 2008

Gesper dalam Air yang Menggenang


Air memang sering kali memberikan kepada kita sesuatu yang filosofis. Seperti yang sering kita dengar... "hiduplah mengalir seperti air", atau "air diam menghanyutkan", dan atau apalah yang lainnya.

Tentang "air diam menghanyutkan", sepertinya saya baru saja mengalami kejadian yang cukup menarik dan mungkin saja ada relevansinya dengan ungkapan itu. Ketika air itu diam lalu ternyata mampu menghanyutkan adalah sebuah ungkapan yang cukup ironis. Karena bagaimana mungkin air yang diam itu bisa menghanyutkan sesuatu yang ada di atasnya atau di dalamnya. Setelah saya pikir-pikir kembali, makna menghanyutkan ini sepertinya lebih tepat jika kita menggantinya dengan kata terlena, terbuai, atau yang paling ekstrem mengakibatkan rasa malas yang luar biasa.

Ambil contoh, ketika kita sedang berduaan dengan sang idaman hati di atas sebuah perahu kecil di sebuah danau yang airnya sangat tenang. Kita terhanyut... Hanyut dalam buaian angin semilir yang sejuk, hanyut dalam suara kecipak kayu perahu yang beradu dengan air danau, hanyut dalam nuansa asmara yang sedang dibangun, dan mungkin saja ketika "teguh kecil" terkejut lalu bangun kita hanyut dalam aroma masyuk yang dihidangkan oleh alunan air tenang itu. Mmm... kalo ini mungkin bukan sekedar hanyut tetapi sudah "tenggelam".

Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan seorang pemuda yang "menghanyutkan" dirinya dalam sebuah kondisi yang membuat tangannya selalu di bawah dan menengadah terhadap belas kasihan orang lain. Pemuda itu mungkin berusia belum genap 20 tahun, meskipun badannya kurus kerempeng tetapi raut mukanya masih sangat bertenaga. Saya berani jamin mata dan hatinya masih membara akan sebuah perjuangan hidup. Tetapi badanya menampiknya, tangannya menolak keras, dan kakinya enggan.

Dengan bertelanjang dada, pemuda itu menghampiri mobil satu persatu meminta belas kasihan. Bercelana jeans warna hitam dilengkapi gesper yang cukup besar, kotak, dan berwarna putih perak.

Saya perhatikan segala gerak-geriknya. Dengan posisi tangan meminta dia mengetuk rasa iba setiap pengendara mobil. Dengan tubuh yang dibuat seolah gontai, dia memelas uang recehan. Dengan mata dibuat sayu, dia menghampiri saya. Setelah saya perhatikan lebih seksama lagi, saya tertegun dengan gespernya. Begitu bersih dan mengkilap meski mungkin bukan asli. Tetapi cukup bagus penampilan gesper itu. Saya lambaikan tangan, sebagai tanda tidak ada uang kecil.

Setelah diam sejenak, saya pun menjalankan mobil karena lampu merah sudah menjadi hijau. Lalu saya berpikir, kenapa tadi tidak saya beri pemuda itu uang ya... atau mungkin saya bisa memberinya uang yang lebih sedikit lagi. Karena mungkin saja jika hal itu terjadi, hari ini saya bisa memiliki gesper baru yang menggantikan gesper saya yang sudah bertahun-tahun ini, yang kondisinya pun sudah tidak layak pakai.

Sepertinya pemuda itu pun, benar-benar menjadi "air yang diam". Menjadi berlumut, sarang nyamuk DBD, dan bau...

Thursday, March 13, 2008

Bla...Bla...Bla...Bla...Bla...


Ketika kita berbicara kepada orang lain, saat itu kita menyampaikan ide dan gagasan kita kepada orang tersebut. Ketika kita merasa "seolah-olah" di atas angin karena lawan bicara kita "diam" kita semakin menjadi dalam bercuap-cuap. Apalagi ketika dalam sebuah perdebatan seru, kepuasan membuat orang "diam" dalam berdebat rasanya seperti ketika ejakulasi. Bener lho ini, coba saja rasakan. Rasakan ketika urat leher kita menegang, mata tajam, cipratan air liur kemana-mana, lalu ketika tangan menunjuk-nunjuk ke langit, dan ketika semua orang "diam" Wah, rasanya sangat bergairah. Sebenarnya saya, belum pernah sih seperti ini, hanya dalam kelompok kecil saya bisa merasakannya, lagi pula bukan hobi saya juga berbicara tanpa diminta.

Sebenarnya bukan berbicaranya yang ingin saya bahas disini, tetapi lebih pada mengaktualisasikan apa yang kita bicarakan dengan sebuah tindakan. Nah, ini yang paling sulit. Sangat sulit malah, kalau boleh saya bilang.

Pernah, suatu ketika seorang kawan bertanya, "ngemeng aja lo Do"! Begitu katanya...

Sebenarnya pedas juga ketika ada orang yang mengkritik saya dengan hal seperti ini. Karena terus terang, saya memang sering berbicara tentang ini dan itu. Saya sering berkata ingin ini dan itu, merencanakan banyak hal ini dan itu, belum sempat ini dan itu tercapai hal ini dan itu yang lainnya sudah saya sampaikan. Akhirnya ketika saya lupa dengan ini dan itu sebelumnya, maka saya akan terus terlena berbicara ini dan itu dan menguaplah semuanya seperti asap. Kembali menjadi kosong...

Tanggung jawab itulah yang sedang saya rasakan sekarang.

Pernah tidak, ketika kita duduk diam sendiri, mengingat kembali kata-kata yang pernah kita ucapkan pada waktu terdahulu dengan gegap gempita tetapi saat ini, ketika kita duduk diam sendiri, kita berkata, "aku tidak melakukannya".

Lantas, setelah kita menyadari hal tersebut, dengan keyakinan penuh dan dengan motivasi air mata kekecewaan kita berkata, "aku tidak akan mengulanginya lagi."

Tetapi... mmm... sepertinya memang tidak seperti itu cara bekerjaanya. Karena kita pun akan dengan segera melupakan tekad yang kita buat dengan gegap gempita tersebut.

Kenapa ya, kita harus seperti ini? Terbelenggu dengan kata-kata kita sendiri...?

Saya pernah berpikir untuk tidak mengumbar kata-kata dengan sebegitu mudah seperti sekarang ini. Tetapi rasanya tidak puas, karena ketika kita mengumbar kata, seolah-olah kita sudah melakukan perbuatan itu 50% dan tinggal merealisasikannya saja. Ternyata saya salah, belum ada yang saya lakukan sama sekali ketika saya mengumbar kata-kata. Masih kosong... Dan sekali lagi kita terjerembab dalam dunia maya alam pikiran kita yang kita realisasikan lewat mulut bukan lewat tangan.

Tuesday, March 11, 2008

Dunia Iklan (2)



Membaca sebuah komen seorang yang ditujukan kepada teman dekat saya, mengenai dunia periklanan. Inti dari komentar itu sebenarnya adalah :

"ngapain gw di ad agency? maksud lo turun kasta gitu? dari dunia fashion yang penuh glamorama dan berkelas ke dunia advertising yang cuma bertindak jadi mediator, budak komersil dan penuh orang2 sok tahu dan sok pintar tanpa keahlian apapun yang bisanya cuma nyuruh2 tanpa-otak? ? ihhh maaf ya I'm too good to be true to be a part of advertising world! hahahahahahahhaah! ! *kipas2*"

Bukan intinya ya ini sih... Tetapi seluruh isi komentarnya.

Mmm... Menarik juga pendapatnya itu. Yang menurutnya dunia advertising adalah hanya sebagai mediator. Jika kita telisik lebih dalam lagi. Sebagai mediator... Ya, memang industri ini adalah sekedar mediator antara produsen yang ingin jualannya laku kepada konsumen yang sedang mencari barang bermutu.

Lalu apakah sekedar menjadi mediator itu hal yang salah ya? Menurut saya, inti dari kehidupan ini pun adalah mediator. Kita adalah mediator antara nilai-nilai Tuhan dan nilai-nilai Iblis. Kedua nilai itu saling bergumul dalam diri setiap manusia untuk mendapatkan porsi yang lebih besar antara satu dengan lainnya sehingga mampu mengarahkan manusia untuk berbuat dan bertindak sesuatu.

Lalu ketika dunia fashion yang penuh dengan "glamorama" seperti komentarnya itu adalah bukan sebuah mediator lantas apa ya? Lha wong, orang-orang itu terkadang mendapatkan inspirasinya dari alam lalu menelurkan ide dan konsep tentang baju musim panas yang lalu dengan serta merta mengadakan pameran di Milan atau New York dan mendapatkan sambutan yang meriah lalu dikontrak oleh Versace sebagai designer fashionnya. Mmm... Ada fashion designer yang tidak memerlukan apapun dalam membuat karyanya? Tanpa apapun! Tanpa mediasi dengan alam yang menginspirasi?

Budak komersil? Sebenarnya istilah ini sudah sangat menjemukan. Saya teringat dengan istilah yang sama sekitar 10 tahun yang lalu ketika demo-demo mahasiswa masih sangat semarak. Ketika nilai-nilai Marxis mencapai titik euphorianya di Indonesia, ketika nilai-nilai Sosialis menjalar keseluruh nadi anak muda negeri ini. Atau mungkin yang lebih dekat dengan dunia fashion adalah ketika Ernesto Che Ghuevarra dijadikan icon di setiap pernak-pernik fashion mulai dari kaos, tas, pin, dan lain-lain tanpa sebenarnya mereka tau siapa Ernesto?

Istilah yang kurang lebih sama itu adalah "Budak Kapitalisme". Ketika seseorang berteriak anti kapitalisme dengan sangat semangat sampai urat lehernya membengkak dan ketika malam tenggorokkannya meradang. Tetapi dia sangat ceroboh, karena celananya Levi's.

Ketika kita merasa disuruh-suruh tanpa otak sebenarnya ini adalah hal yang sangat ironis. Karena bukankah justru kita yang lebih tanpa otak ya... Kok ya mau disuruh-suruh sama orang yang tidak punya otak. Dan yang terakhir adalah komentar saya, jangan lah berkata bahwa orang lain itu tidak memiliki kemampuan apapun. Coba deh lihat diri kita sendiri lalu bandingkan diri kita sendiri di umur yang sama dengan orang yang lain yang kita anggap tidak memiliki kemampuan itu. Atau jika mau coba bandingkan diri kita di umur 21 tahun dengan David Droga yang sudah menjadi Creative Director. Ada perbandingan yang mencolok kah?

Mungkin juga komentar saya ini salah, karena saya bukan fashion designer, saya hanya sekedar penikmat peragaan busana musim panas saja... :)

Thursday, March 6, 2008

Dunia Iklan


Bekerja di dunia advertising menurut beberapa orang yang sedang atau pernah berkecimpung di dalamnya menuntut waktu kerja yang tidak sedikit. Bahkan lebih, bisa dikatakan menyita waktu lain ketika deadline yang terkadang tidak manusiawi. Khususnya bagi mereka yang berada di departemen kreatif. Lebih khususnya lagi bagi mereka yang memangku jabatan graphic designer atau art director. Bukan berarti departemen lain tidak memiliki effort yang sama, tetapi pada kenyataannya memang orang-orang di departemen kreatiflah yang terkadang memikul pekerjaan yang lebih berat dalam persoalan waktu. Tidak sedikit orang-orang di departemen account hanya memberikan pesan singkat lewat post it bahwa "jangan lupa ya briefnya" atau "besok jangan telat presentasi", atau apapun itu lalu dia keluar kantor entah kemana. Atau para planner yang tidak memiliki insight yang cukup terhadap brand atau konsumennya sehingga hanya mampu menelurkan brief creative yang ala kadarnya. Atau ketika para traffic tidak mampu memanage lalu lintas brief dan deadline sehingga bentrok sana dan sini.

Pada akhirnya ketika output yang keluar dari sebuah brief dengan skema seperti di atas menjadi kurang maksimal. Ketika itu terjadi creative lah yang dipersalahkan. Mmm... Sepertinya saya terlalu menyudutkan orang-orang di departemen lain ya? Maaf, jika memang seperti itu. Tidak jarang konflik terjadi antara departemen kreatif dengan yang lainnya. Tetapi ketika para creative iklan sebuah agency menerapkan prinsip "yes man", mereka hanya mampu mengikuti keinginan klien dan tidak memposisikan sebagai partner. Biasanya prinsip ini dilakukan untuk menghindari konflik internal tetapi akibatnya justru konflik eksternal. Mungkin saja lebih luas menyangkut nilai-nilai sosial dalam masyarakat.

Kenapa bisa seperti ini? Karena klien pada dasarnya hanya ingin barang dagangannya laku dipasaran tanpa memperhatikan dampak sosial yang terjadi. Posisi agency iklan adalah penyeimbang, sebagai konsultan bagi produsen bagaimana cara untuk memasarkan produknya. Ketika produsen mengeluarkan brief "what to say" maka agency pun mengeluarkan brief "how to say" semua kemudian digabungkan menjadi pesan komunikasi yang diharapkan tepat.

Ah, saya sudah berbicara ngawur sepertinya, tidak tahu apa-apa kok ya nulis seperti ini. Meskipun saya memang bekerja dalam dunia iklan bukan berarti saya tahu segalanya tentang iklan. Saya juga tidak mengerti kenapa saya menulis ini... Mungkin karena sudah lama tidak menulis, sehingga merasa gengsi ketika blog ini kok kosong terus ya... Hahha...