Friday, December 26, 2008

Dunia Iklan 3

Entah mengapa dalam tulisan ini saya menambahkan angka 3 dibelakangnya. Mungkin jiwa eksistensialis saya yang menginginkannya. Karena pada dasarnya saya ini pemalu, tidak ingin terlalu tampil. Tapi ternyata saya sudah tampil 3 kali dalam dunia "ini".

Suatu hari setahun yang lalu, saya sedang menghabiskan malam bersama seorang teman dan beberapa rekan kantornya di sebuah restoran daerah dharmawangsa. Kami makan dengan lahap seolah tidak akan ada hari esok yang lebih nikmat lagi. Seperti ini mungkin cara kami makan, cara orang-orang iklan makan. Terburu-buru, karena memikirkan deadline di belakang sana.

Setelah makan selesai, obrolan seputar iklan pun merebak. Seseorang dari mereka bertanya,

"Posisi lo apa do di kantor?"

"Oh, gw Graphic Designer"

"Lha, umur lo kan udah ketuaan sebagai graphic designer", tanya nya kembali.

"Memang kenapa", jawab saya.

"Gw ini baru 23 tapi dah jadi Art Director", katanya dengan bangga.

hahahha... saya tertawa dalam hati, kembali seseorang yang baru lulus kemaren sore sekarang berbangga hati karena sudah menjadi seorang "direktur".

"Bukan itu kok yang sebenarnya gw cari, mungkin juga gw saat ini belum cocok mendapatkan posisi itu, toh gw baru 1 tahun masuk agency. dan kebetulan posisi itu yang kosong, lagian ini kan cita-cita gw dari dulu pas kuliah pengen kerja di iklan, jadi gak papa lah. itung-itung cari pengalaman dulu sebelum masuk jenjang yang lebih tinggi", jawab saya sok bijak.

"Ooohh... dulu waktu magang, elo gak magang jadi Art Director ya?" tanya nya kembali.

"Hahahha... magang? gw dulu malsuin laporan magang gw. Waktunya mepet, ya udah gw minta data aja sama temen gw yang magang jadi AE," jawab saya.

"Jadi lo gak sempet magang di agency as creative", tanyanya penuh rasa ingin tahu.

"Enggak, gw malah magang di majalah untuk posisi GD, itu juga karena gw pengen ngerasain kerja kantoran", jawab saya tetap tenang.

"oh gitu...", jawabnya sambil mengunyah rempah daging.

"ah, posisi creative yang basenya art mah, sama aja GD atau AD," temen saya tiba-tiba menyahut.

"Iya tapi kan gajinya tinggian AD, secara dia yang mikirin konsepnya," jawab temannya yang sedari tadi bertanya kepada saya.

"Emang sih, tapi kalo yang lo cari uang, ya... mungkin akan kesana, tapi kalo yang lo cari adalah rasa, mungkin beda", jawab saya.

"Emang lo gak butuh uang do," tanya nya kembali.

"Sangat butuh, gimana mau gaya kalo gw gak punya uang," jawab saya.

"Nah, terus kok elo mau jadi GD, padahal umur lo seharusnya jadi AD," kembali dia mengusik.

"Ah, buat gw sih apapun itu selama gw suka, gw akan lakukan, dan orang juga akan tahu nanti," jawab saya.

"Meski nanti lo ditawarin jadi Jr.GD lo ambil," tanyanya kembali.

"Iya gw Jr.GD yang gajinya dollar," jawab saya.

"Kok bisa," semakin penasaran dia.

"Ya, bisa dong, kenapa enggak," jawab saya memancing pertanyaannya.

"Kenapa bisa begitu," kembali dia bertanya mantap.

"Karena lo tanya gitu...," saya jawab menggantung.

"Maksud lo...?" tanyanya makin bingung.

"Karena lo berpikir gw gak mau jadi Jr. GD yang pastinya gajinya lebih minim lagi, dan ini adalah pertanyaan imajinatif elo, kenapa enggak gw ngejawab dengan imajinatif juga, toh gw bekerja sebagai Jr. GD yang setiap hari bakal ketemu sama David Droga, dan karena itu gw "mendapatkan" lebih dari yang lo dapat sebagai AD disini", jawab saya dengan agak keras.

Obrolan pun berhenti sejenak, dan ternyata sedari tadi saya perhatikan meja makan itu yang dibagi menjadi 2 dengan 8 buah kursi untuk kami masing-masing menjadi senyap karena obrolan kami yang ntah apa juntrungannya ini. Semua orang di meja itu menatap ke kami semua. Dan teman saya hanya tersenyum kecil melihat polah rekannya yang agak-agak "snob" ini.

"Woi, jangan pada berantem apa, ntar kalian pada kelahi, mau pesen lagi gak...", sahut teman saya sambil menawarkan menu kepada yang lain.

"Kopi dong...", jawab saya.

"Eh, iya boleh tuh...", jawab yang lain.

Setelah semua kembali seperti biasa, dan keriuhan kembali terdengar di meja ini. Samar-samar saya mendengar teman saya yang sedari tadi membahas tentang GD dan AD ini bertanya kepada teman di sebelahnya.

"David Droga siapa sih", tanyanya pelan.

Saya tersenyum kecil sendiri mencuri dengar obrolan bawah meja itu.

Lanturan Untuk Menyambut 2009


Akhir tahun ini, banyak sekali perubahan yang terjadi. Tidak saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Bumi ini pun mengalami perubahan yang drastis, sehingga mempengaruhi kehidupan yang ada di atasnya.

Mulai dari perubahan iklim, pembuktian teori relativitas Einstein, goncangnya konsep kapitalis karena resesi keuangan Amerika, belum lagi tentang kemampuan melahirkan seorang pria yang pernah muncul di Oprah, meski memang dia sebelumnya berkelamin perempuan. Atau tentang munculnya pemimpin berkulit hitam di Amerika.

Sedangkan di Indonesia? Konsep korup sepertinya lambat laun akan mereda dengan makin beringasnya KPK merangsek. Atau bagaimana seorang kepala negara merasa ditipu oleh seseorang yang mengaku memiliki kemampuan menemukan bahan bakar air dan padi yang bisa panen dengan cepat. Untuk yang satu ini saya hanya bisa tersenyum kecut sambil tertunduk seperti anak babi yang malu karena induknya adalah babi.

Belum lagi tentang keputusan jam sekolah yang dibuat oleh PemKot DKI. Sepertinya kita memang harus menggalakan disiplin nasional lagi. Tetapi yang agak-agak mengganggu saya adalah konsepnya, kali ini disiplin nasional harus dimulai dari bawah, dari umur yang dini. Karena orang-orang tua sudah tidak mungkin diajarkan disiplin, mereka sudah terlalu akut penyakitnya. Gerakan Disiplin Nasional dicetuskan oleh mereka yang secara institusi adalah yang paling tidak disiplin.

Inilah yang akan kita rasakan ketika nanti 2009 hadir, Pemilu, memilih kembali pemimpin negeri ini untuk 5 tahun kedepan. Seperti biasa, mereka yang menghamba kepada kita untuk dipilih tidak memberi sebuah bukti konkret yang bisa kita jadikan acuan. Seperti konsep "GDN" PemKot DKI di atas itu.

Siapa mereka? Darimana asalnya? Oh, saya tahu, saya pernah melihat mereka. Mereka sering "nongkrong" di ujung jalan sana dalam bentuk spanduk dan baliho. Terkadang mereka juga sering "mengintip" lewat layar kaca dan berbicara ini dan itu.

Berbicara? Mmm... Sebenarnya berbicara itu lebih susah lho daripada bertindak. Mau bukti? Ketika kita berbicara, kita fokus pada apa yang kita bicarakan saat itu, kita merasakan kepentingan kita dalam konteks pembicaraan yang kita utarakan. Dan itu sangat dirasakan oleh Moerdiono mantan MenSesNeg zaman Orde Baru. Tetapi ketika kita bertindak, itu akan lebih mudah.

Karena sebagai pemimpin kita hanya butuh laporan dari pada staf. Mereka akan berbicara ini dan itu, sampai akhirnya pemimpin yang memutuskan harus melakukan apa. Sampai disini
memang mudah bagi mereka yang memiliki jiwa pemimpin.

"The manager asks how and when, the leader asks what and why"
-Warren Bennis-

Para pemimpin hebat di dunia ini selalu memiliki visi yang tidak mereka bagikan kepada orang lain secara terbuka. Mereka hanya merasakan saja, dan mereka yakin akan hal itu. Bisa dianggap untuk yang satu ini, syarat menjadi pemimpin adalah memiliki "indera ke 6" dalam bentuk vision masa depan. Akan dibawa kemana kendaraan yang mereka setir ini.

Ada salah satu parpol yang memiliki program sembako murah untuk rakyat. Sekedar mencari popularitas menuju tahun 2009. Sekali lagi rakyat kecil mereka cekoki dengan ikan yang banyak. Tetapi mereka tidak melihat jangka panjang. Ketika ikan itu habis rakyat akan terbiasa meminta, meminta, dan meminta terus. Padahal ajaran pendiri negara ini adalah BERDIKARI.

Jangan salahkan kami ketika golongan putih akan menjadi "pemimpin" di negeri ini.
Karena kalian selalu mengajak rakyat kecil untuk menjadi "senjata" kalian berkampanye, mempromosikan diri kalian, bersembunyi di kesusahan rakyat untuk menjadi pemimpin terpilih atas dasar "simpati" sesaat.

Pret Dut Cuih!

Dan satu hal lagi, pemimpin tidak dilahirkan, mereka tidak memiliki genetika. Para ilmuwan pun tidak menemukan genetik seorang pemimpin kalau pun ada, hanya sebagai data statistik saja. Lihat bagaimana data statistik mengukur tinggi badan para pemimpin, dalam data itu para pemimpin memiliki tinggi badan di atas rata-rata. Oleh sebab itu lah, kadang Napoleon Bonaparte selalu dilecehkan.

Tetapi bagaimana dengan Mahatma Gandhi yang lebih pendek dari Napoleon? Mmm... saya jadi bingung? Tetapi setidaknya Napoleon tertulis dalam sejarah sebagai salah satu pemimpin dunia yang berpengaruh.

Tetapi kita, mereka yang akan mencalonkan diri di tahun 2009?

We need more act than talk!

Jangan kayak bang kumis ah... bingung mau ngapain tuh dia sekarang. Maaf om, no heart feeling ya... makanya dibenerin dong macetnya, tapi jangan suruh bangun pagi.

Kuning Matang

ketika orang bertongkat itu datang kepadaku bertanya tentang senja.
aku mengatakan, biasanya langit berwarna kuning matang.

dia bilang, seperti apa kuning matang itu.
aku pun menyadari bahwa dia buta dan tidak tahu warna.

hampir saja ku pergi melipir, tetapi tatapan matanya yang kosong
membuatku mengurungkan niat. dia juga berhak "melihat" senja.

kugandeng tangannya ke tepi bukit dimana aku bisa melihat cakrawala senja tepian pulau. disana banyak anak-anak bermain bola.

sekarang dimana? tanya orang buta itu
kita ada di tepi bukit dengan ombak menerjang pantai.

oh, katanya singkat.
dia berdiam, seperti merasakan sesuatu.
terpaan angin pantai di ujung hari membuat rambut ikalnya bergoyang jaipong.

aku mendengar suara tawa anak kecil, katanya.
iya di bawah sana, banyak anak yang sedang bermain bola, bertelanjang dada, berlarian mengejar bola, saling berjatuhan berlumur pasir pantai, dan terkadang air laut ikut merebut bola. saat itu mereka akan lebih senang lagi dengan seringnya mereka menjatuhkan badan, basah! kataku.

mereka pasti senang, tawa yang kudengar membuatku geli, katanya.
aku tersenyum sambil berkata, iya, mereka sangat senang. ini adalah penutup hari yang rutin mereka lakukan.

ada suara burung, katanya.
iya ini burung camar, mereka biasanya datang untuk menikmati senja seperti kita saat ini.

tapi mengapa suaranya tidak menjauh, selalu ada disekitar sini. tanyanya lagi.
karena mereka terbang di atas kita, mereka memang tidak bergerak. kataku.

bagaimana bisa mereka terbang tetapi tidak bergerak, tanyanya penasaaran.
karena mereka terbang menikmati angin, bukan menentang atau bersama angin, jawabku.

oh, seperti ini ya... lalu dia merentangkan kedua tangannya, bediri bergoyang, membiarkan dirinya dibuai angin senja yang menerpa.
iya, kataku sambil mengikuti apa yang dia lakukan, kupejamkan mata dan mencoba merasakan apa yang dia rasakan.

...
...
...

apakah warna kuning matang selalu seperti ini? damai, ceria, hangat, bersahabat, meskipun sedikit lengket, tetapi aku nyaman sekali.

dia mengagetkan lamunanku dalam mata terpejam, sambil berdehem kukatakan, tidak juga. mungkin esok rasanya akan lain sampai beberapa bulan ke depan.

sayang ya... kita tidak bisa merasakan hal ini lagi. tapi aku akan selalu datang kesini untuk merasakan warna kuning matang seperti yang kau katakan.

----

angin kencang sore ini dengan gemuruh bersautan membuat suasana lebih dingin dan mencekam. kuning matang yang hangat dalam cangkir putih bersama pisang goreng menemani lamunanku tentang sahabat di atas bukit tepi pantai.