Saturday, October 13, 2007

Selamat Hari Raya

Pagi itu udara menjadi lebih segar karena guyuran hujan sesaat ketika shubuh tadi. Langit biru bersih dengan sedikit sapuan awan putih yang merata di sekitar Timurnya. Matahari muncul dengan kehangatan menyambut para hamba yang berduyun-duyun datang ke lapangan bola. Menggelar koran sebagai alas kening, membagi sajadah sebagai bagian dari kebersamaan, saling berjabat sebagai wujud kemuliaan hari.

Takbir mengumandang sejak semalam tadi, menandakan akhir dari bulan seribu bulan. Awal dari sebuah titik kesucian batin. Harapan akan hari-hari mendatang yang penuh kedamaian dan persaudaraan, karena sebulan sebelum kita sudah melatihnya.

Semalam tadi, ribuan pesan pendek lewat telepon genggam saling sambut menyambut. Permintaan maaf dan ucapan selamat hari raya. Sebuah ucapan yang dikemas dengan rapi, melalui kreasi pantun, puisi, serta frase-frase indah lainnya.

Lebaran telah tiba, bahkan sejak tiga hari yang lalu. Entah mengapa bisa menjadi seperti itu. Saya tidak mengerti bagaimana menghitungnya. Yang saya tahu, bahwa bulan puasa adalah sebulan penuh, yang berarti 30 hari. Selebihnya saya serahkan kepada yang mengerti dan saya akan mengikuti. Selama ini imbauan pemerintahlah yang saya ikuti dan pemerintah selalu mendapatkan lebaran lebih lambat dari kelompok Islam yang lain. Ah, jika saja pemerintah bisa mendapatkan lebaran lebih cepat dari kelompok lain mungkin saja tahun ini saya bisa mendapatkan Shalat Ied. Itulah masalah saya, setiap lebaran, saya selalu terlambat bangun untuk melakukan Shalat Ied. Mungkin tidak cuma saya, banyak juga orang-orang yang seperti saya. Jika besok masih ada yang melakukan Shalat Ied, yang berarti hari ini masih ada yang berpuasa. Maka nanti malam saya tidak akan begadang terlalu lama, sehingga besok saya bisa Shalat Ied.

Perbedaan memang bukan sesuatu yang menghambat, tetapi lebih memperkaya kita. Sedikit mengubah tagline Teh Botol Sosro, “kapanpun lebarannya, makannya selalu ketupat”. Selamat Hari Raya Idul Fitri 2007, Mohon Maaf Lahir dan Batin. Mari sambut hari-hari mendatang dengan momentum perbedaan lebaran tahun ini.

Thursday, October 11, 2007

Masyarakat Tontonan

Setelah membaca rubrik Pencerahan di Ad Diction edisi terbaru yang ditulis oleh Ade Armando, seorang manta anggota KPI. Saya kembali mengangkat isu tentang buruknya lembaga penyiaran republik ini.

Tulisan saya sebelumnya, mengenai isi pemberitaan media yang berdasarkan asas “Bad News is a Good News”. Ternyata tidak sekedar isi pemberitaan media saja, tetapi kita pun juga “dikungkung” oleh program acara TV yang sama buruknya.

Seperti misalnya, sinetron yang dianggap utopis dalam penyajiannya. Dengan penggambaran keluarga kaya dengan segala permasalahannya, dengan rumah gedong, mobil belerot mereka mempertontonkan kejadian sehari-hari dan dibungkus oleh cerita-cerita yang diharapkan mampu menderai mata penontonnya. Cerita-cerita tentang pecahnya sebuah keluarga dan memperebutkan harta gono-gini, tentang anak gelandangan yang diangkat anak oleh seorang kaya tetapi mendapatkan perlakuan buruk dari salah satu anggota keluarga kaya tersebut (biasanya si ibu). Atau ditambahkan bumbu mistis yang si anak bisa berubah menjadi monyet. Atau yang lebih parah, karena menurut si pembuat sinetron, banyak permintaan untuk memperpanjang episode sinetronnya. Sehingga pada akhirnya tampak sangat dipaksakan, misalnya tentang legenda Joko Tarub yang pada episode selanjutnya berpetualang dan bertempur dengan monster-monster. Atau tentang sinetron yang menggambarkan tentang hukuman-hukuman yang bersifat langsung dari Tuhan karena anak yang durhaka, istri yang durhaka, suami pemabuk dan istri penyabar (terdengarnya seperti salah satu judul sinetronnya).

Belum lagi tentang tontonan bioskop yang melulu menyajikan film-film horor. Seperti jualan kacang goreng di jalan. Karena satu orang dagangannya laku, lalu berdatanganlah penjual kacang goreng lain. Memang secara teori pemasaran, jika kita ingin melakukan dagangan, kita harus mendekatkannya dengan dagangan orang lain yang laku duluan. Seperti juga para pedagang makanan yang membubuhkan kata “Pak Kumis” di belakangnya. Saya kurang tahu, siapa pak kumis yang asli.

Film horor mungkin menggunakan konsep itu juga, dimulai dengan sepak terjang Film Jelangkung I, lalu berderetlah para produser film menyuguhkan skenario horor kepada sponsor dengan dalih sebagai film horor paling seram dan akan mendatangkan penonton yang banyak. Yang paling terkini adalah Scary Movie-nya Indonesia, yang dengan pongah mengatakan sebagai film hantu paling lengkap. “Semua hantu deh, ada disini” (pengucapannya disamakan dengan program acara TV “Campur-campur” yang sempat ditayangkan di ANTEVE beberapa tahun silam).

Tidak puas dengan tontonan bioskop, genre horor pun diangkat ke layar kaca dan berharap penonton pun memuaskan ketakutannya akan makhluk halus di TV. Penggunaan ulama-ulama Islam atau paranormal pun laku keras disini, masih untung (ungkapan orang Jawa jika terkena musibah) tidak ada tokoh yang bernama Suketi (masih ingat? Tokoh film horor yang diperankan Suzanna dalam film Sundel Bolong era 80-an)

Saya tertarik dengan penjelasan Ade Armando tentang masalah rating. Dia tidak begitu percaya dengan rating yang disuguhkan dalam data statistik. Karena menurutnya, rating tersebut tidak mencerminkan keinginan penonton. Karena penonton terpaksa menonton tontonan buruk karena tidak ada tontonan yang lebih bagus. Toh, kalau ada tontonan yang lebih bagus, pasti akan ditonton juga. Sinetron PPT (Para Pencari Tuhan) misalnya, saat ini jika kita melihat ratingnya jauh di atas “tontonan wajib” bulan puasa lain yang menyajikan lelucon slapstick dan penyajian kuis yang asal (pertanyaan yang bodoh dan kurang menghargai masyarakat yang menelepon, kenapa? Karena masyarakat yang menelepon “disuruh” menunggu, sementara pembawa acara melakukan slapstick).

Jadi memang sebenarnya, masyarakat kita sudah pintar dan bijak dalam menseleksi tontonannya. Yang belum pintar dan bijak justru pihak yang menyajikan tontonan tersebut.

Satu lagi fakta terungkap di negeri ini, bahwa kasus bunuh diri di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia. Dengan 136 orang bunuh diri setiap harinya menurut badan dunia WHO. Fakta bahwa semakin tipisnya harapan hidup masyarakat Indonesia. Fakta ini berdasarkan penelitian di daerah-daerah yang terkena bencana, bagaimana kalau ditambah dengan terpaan media yang melulu menyajikan berita buruk.

Ah, memang banyak sekali keburukan orang lain di mata kita sendiri jika mau dituangkan dalam tulisan ini. Tapi ini sekedar wacana saja untuk membuat lingkungan kita lebih baik. “Make it better place, for you and for me…” begitu kata Michael Jackson dalam lagu Heal the World. Kita bisa…!

Tuesday, October 9, 2007

Nikmatnya Menjadi Orang Apatis Bag I

Suatu hari minggu yang cerah, tepat di pukul delapan pagi. Seorang pejabat teras kampong, mengumumkan tentang kerja bakti akan diadakan sebentar lagi. Dia mengajak para bapak-bapak dan anak muda untuk turun ke jalan membersihkan lingkungan sekitar. Biasanya kegiatan ini dilakukan ketika pergantian musim, untuk membersihkan sarang-sarang nyamuk dan aliran air. Atau juga ketika ada perayaan hari besar nasional, seperti 17an.

Panggilan lewat corong sebuah musholla di depan rumah itu cukup memekakan telinga. Mungkin memang sengaja dibuat seperti itu. Dibuat untuk “mengganggu” lingkungan sekitarnya. Semakin banyak orang yang “terganggu” semakin banyak orang yang keluar rumah dan melakukan kegiatan itu. Mungkin terdengar sinis, tetapi untuk saya pribadi memang seperti itu adanya. Saya cukup terganggu, tetapi saya pun tetap bertahan di dalam rumah. Menikmati hari libur yang cerah dengan bersantai-santai di rumah dan tidak peduli kegiatan di luar sana. Toh, sudah banyak orang yang melakukan kegiatan itu. Daripada saya malah menambah repot orang-orang yang sibuk, lebih baik saya “merepotkan” diri sendiri saja dengan bersantai.

Hari semakin siang, kira-kira sudah pukul sepuluh lewat. Menjelang pukul sebelas. Kegiatan di luar sana, kegiatan bersih-bersih lingkungan pun sudah semakin mendekati akhirnya. Setiap saluran air sudah ditangani dengan baik dan bergotong royong. Sampah-sampah sudah mulai dibakar dan dikubur di dalam tanah. Saya menyempatkan diri untuk keluar, sekedar membeli sebungkus rokok untuk menemani hari santai ini. Seorang bapak tampak kumel dengan kaos yang penuh noda sampah dan tangan yang bergumul Lumpur. Dia ditemani seorang pemuda membersihkan aliran air di depan rumah. Tepat di depan rumah dan kami saling melempar senyum ketika saya membuka pintu gerbang. Saya pun melenggang menuju warung terdekat.

Ketika saya kembali dari warung, mereka masih sibuk membersihkan aliran air tersebut. Tanpa melihat ke mereka, saya pun masuk ke dalam rumah dan duduk lalu menghisap sebatang rokok yang baru saya beli tadi. Setelah hisapan ketiga, saya merenung…. Siapa dia, orang tua itu, yang dengan sukarela membersihkan saluran air tepat di depan rumah saya ini. Kenapa dia begitu bersemangat membersihkan aliran air tersebut? Sedangkan saya, yang paling dekat dengan aliran air itu hanya bersantai di dalam rumah.

Hari sudah menunjukkan pukul dua belas lewat. Waktu Dhuhur sebentar lagi merapat, kesibukan kerja bakti itu sudah menunjukkan tanda-tanda penyelesaiannya. Para bapak-bapak dan anak muda yang sedari tadi bergumul dengan sapu lidi, cangkul, lumpur, sampah, dan air kotor mulai membersihkan diri untuk kemudian menikmati makan siang bersama di rumah bapak ketua RT.

Sementara saya, masih menikmati rokok dengan ditemani tontonan film dari DVD yang baru saja saya beli di ITC.

Sunday, October 7, 2007

Nasibnya Menjadi Orang Indonesia

Suatu pagi pada bulan puasa, saya membaca sebuah berita dari majalah Tempo yang saya dapat dari kantor beberapa hari sebelumnya. Ada sebuah artikel yang menarik perhatian saya. Tentang pencurian rel kereta api. Yang menurut artikel tersebut harga rel kereta api sepanjang 1 meter kalo saya tidak salah adalah Rp 50.000,-. Tidak hanya relnya saja yang dicuri, tetapi juga komponen dari rel tersebut, termasuk baut dan mur serta besi-besi pendukung rel itu. Tidak heran jika kecelakaan kereta sering terjadi... Yah, tentu saja terjadi! Lha wong, jalanan untuk keretanya saja hilang...

Lalu, saja beranjak ke depan pesawat televisi, melihat berita pagi. Lagi-lagi berita yang saja dapatkan adalah berita yang tidak enak. Tawuran mahasiswa di daerah Diponegoro. Makin mumet saja, pagi itu...

Berita kedua yang saya konsumsi pagi itu adalah, penjualan barang-barang konsumsi makanan yang sudah kadaluwarsa di supermarket. Halah! Apa lagi ini... Semakin dekat ke lebaran semakin banyak orang yang menginginkan keuntungan lebih dari penderitaan orang lain. Tambah mumet saya... Sumpah serapah pun keluar...

Kawan saya, yang sedari tadi memperhatikan saya sedang ngedumel sendiri di depan TV, mulai bertanya. Ada apa? Singkat cerita kami berdua berdiskusi tentang "dumelan" saya itu. Tidak ada solusi dari diskusi kami tersebut. Tetapi intinya adalah, kawan saya itu memberikan pendapatnya, bahwa kita paling tidak harus bisa lebih sensitif dan mendekat kepada lingkungan sosial kita. Kita pada akhirnya harus lebih berani meminta dan berkomentar pada sesuatu yang kita percayai.

"Komentari saja hal-hal yang menurut lo tidak berkenan di hati lo dan di hati orang-orang sekitar lo". Contohnya kata kawan saya itu, "Jika kita naik bis kota, dan bis tersebut ugal-ugalan, teriak saja kepada sang supir untuk tidak ugal-ugalan. Jangan menjadi apatis di dalam lingkungan yang sudah tidak sehat ini".

Saya merenung...

Setiap hari kita disuguhkan berita-berita buruk, berita yang tidak mengenakan. Kebakaran hutan, banjir, bencana lumpur, gempa, korupsi, pembunuhan, bunuh diri, TKI dan TKW yang disiksa majikannya, pencurian, belum lagi berita-berita perceraian dan selingkuhnya para selebritis, berita-berita kriminal yang katanya untuk mendongkrak korps kepolisian RI, bahwa mereka ada untuk melindungi masyarakat, penggusuran... Halah! Banyak lagi berita yang membuat langkah kita di pagi hari menjadi gontai.

Tetapi sekalinya ada berita yang sangat bagus, berita yang membuat kita terinspirasi, berita baik, berita yang membuat kita bangga. Kolomnya sangat kecil, sangat kecil saya ulangi. Prosentasenya dengan berita buruk sangatlah rendah. Yah, saya membacanya di Kompas, berita tentang seorang anak kelas 6 SD yang memenangi lomba membuat design perangko untuk UNICEF tentang kemiskinan. Dia menang juara pertama dengan menyisihkan 1500 pesaingnya. Apakah itu membanggakan? Sangat! Tetapi tidak sebanding dengan terpaan berita buruk yang kita terima.

Sebuah film, "Enemy at The Gates", sebuah film tentang pertempuran antara tentara soviet dengan jerman di sebuah kota Stalingard. Tentara Soviet mencoba mempertahankan daerah itu dari invasi tentara Jerman. Salah satu perwira politik, yang bertempur lewat propaganda tulisan dan surat kabar, dari Soviet mengatakan bahwa saat ini yang dibutuhkan oleh tentara Soviet dan seluruh rakyat Soviet adalah harapan. Bahwa kita membutuhkan itu untuk memberi dorongan dan semangat bertempur dan membela negara. Akhirnya dia menemukan bahwa yang mampu memberi semangat itu adalah seorang tentara yang bernama Vasilli. Dia adalah seorang Sniper, penembak jitu, yang ditemuinya secara tidak sengaja di sebuah pertempuran. Dia mampu menembak 5 orang tentara Jerman dalam waktu 1 menit tanpa kehilangan satu peluru dari jarak 50 meter. Akhirnya dia mempropagandakan tentang Vasilli, dan terbukti bahwa propaganda tentang Vasilli mampu mendongkrak naik harapan dan semangat seluruh tentara dan rakyat Soviet di Stalingard.

Kembali ke negeri kita tercinta... Apakah kita memang telah kehilangan harapan? Tidakkah ada informasi yang mampu membangkitkan semangat kita untuk membangun bangsa ini? Sampai kapan informasi yang buruk ini memenjara semangat dan harapan kita? Sudah semakin banyak orang apatis di negeri ini.