Suatu pagi yang cerah, ketika burung-burung kecil sudah mulai bermain cit cit cuit dan para pejantan ayam sedang bersiap-siap berkokok. Pak Dullah, seorang petinggi desa, sudah bersiap-siap pula. Sudah rapi dengan seragam pejabat desa warna coklatnya, ia berpamitan kepada istri dan keluarganya di rumah. Lalu sejenak ia berpamitan pula dengan warga desa yang juga sudah ada di kediamannya untuk melepasnya pergi menunaikan tugas kedesaan.
Sebuah ruang aula yang sangat besar, cukup untuk memuat kurang lebih pemain bola beserta setengah dari lapangannya serta para penontonnya. Sebuah tempat kerajaan yang sedang dipersiapkan untuk menjadi tempat perhelatan sang raja negeri menyambut tamunya. Ya, pertemuan antara sang raja negeri dengan para raja kecil semacam Pak Dullah.
Pohon disana sangat rindang, besar, dan kokoh. Dengan rumput yang pendek terpotong rapi, angin berseloroh kepada dedaunan pohon untuk meminangnya dalam buaian alam biru. Menggelitiknya hingga daun pun tertawa tertahan kemeresek. Tidak sedikit daun yang berjatuhan tak tahan gelitik sang angin.
Sebuah tempat yang damai, sejuk, dan nyaman. Sekedar untuk memejamkan mata mungkin akan lebih nikmat lagi disini. Begitu pikir Pak Dullah, yang duduk di tengah aula beserta para raja kecil lainnya. Tak berapa lama sang raja negeri datang dengan tatanan langkah penghormatan yang tiada terkira. Sebagai pemimpin negeri dia adalah penguasa tunggal yang mampu menjungkir balikkan kenistaan menjadi keindahan, seharusnya seperti itu. Tetapi ...
Angin sepertinya membaca benak Pak Dullah, dihampirinya, dibuainya, dan dibelainya mata Pak Dullah. Berat, nyaman, damai, dan tenang. Sedikit perih tetapi sangat dianjurkan untuk terpejam. Begitu bisik angin kepada Pak Dullah. Belum beberapa lama kelopak mata Pak Dullah bermain jungkat-jungkit, mimpi menjadi penguasa negeri dengan puluhan selir duduk dipangkuannya sedangkan Bu Dullah nyengir kambing di belakang sana.
Ah, kasihan sekali jika Bu Dullah mengetahui mimpi Pak Dullah yang mangkir dari tugasnya mendengarkan petuah dari raja negeri.
"Hai!, Kau yang disana, kalau tidur di luar saja!", begitu suara keras yang menggelegar mengagetkan ruang aula yang megah itu. Angin pun terkejut sehingga langsung beringsut pergi dari mata Pak Dullah. Sementara sang empunya mata yang main jungkat-jungkit sudah menjadi pusat perhatian pemimpin desa yang lain. Merapikan posisi duduk tidak membantunya menghindari tatapan tajam mata raja negeri.
"Mimpi apa semalam aku, sehingga beliau menghardik aku saat ini," begitu ucap Pak Dullah. "Bukan begitu pak, yang benar mimpi apa, anda barusan", saut pemimpin desa yang duduk di sebelahnya.
Dengan kepala tertunduk dan tangan yang rapat di atas pangkuannya, Pak Dullah dihampiri raja negeri yang datang dan berdiri di depannya. Dengan mata merah meradang amarah, dengan tangan berkacak pinggang, sang raja negeri mengumandangkan maklumat. "Cungkil bola matanya, sehingga angin tidak lagi menggodanya!"
Sebuah hukuman yang mungkin pantas tetapi mungkin saja tidak, tetapi paling tidak maklumat yang mungkin bisa diajukan banding itu berlandaskan kepada norma kepemimpinan. Ketika amanat rakyat yang sudah mengantarkannya kepada kursi kekuasaan hanya digunakan untuk bersenda gurau dan bermain dengan semilirnya angin negeri biru. Bermain dengan mimpi yang menyeruak membuka tabir harapan pasif yang terus di kumandangkan negeri mimpi.
Mungkin sudah saatnya kita semua memulai bermimpi untuk tidak sekedar bermimpi.
Wednesday, April 9, 2008
Bermimpi untuk Tidak Sekedar Bermimpi
Diposting oleh swingtalk di 6:52 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment