Suatu hari di sebuah warung kopi terjadi perbincangan yang serius antar warga sekitar yang setiap pagi selalu meluangkan waktunya untuk "ngupi-ngupi dan ngeruti".
Awal perbincangan mereka adalah tentang seorang warga yang sepertinya tidak tahu tata krama kepada warga sekitar karena tidak mensosialisasikan mereka kepada warga baru yang baru saja pindah ke lingkungan mereka. Kebetulan sekali warga yang baru pindah ini menempati rumah di sebuah blok yang berdampingan dengan rumah seorang warga yang mereka anggap tidak tahu tata krama tersebut.
Mereka kasak-kusuk di warung kopi itu, mengkritik tentang pola komunikasi yang tidak sehat menurut mereka. Mereka menilai telah terjadi ketimpangan komunikasi dalam kampung itu.
Dalam suasana, kasak-kusuk itu tiba-tiba warga yang mereka anggap tidak tahu tata krama muncul dan memesan kopi kepada ibu penjaga warung. Langsung saja dengan serta merta seluruh warga menghardik dan menuduhnya sebagai warga yang tidak tahu sopan santun. Mereka mengatakan, bahwa tindakannya sangat tidak sopan, tidak tahu tata krama, dan memalukan. Sang warga yang baru saja datang ini pun bingung, kenapa masalah seperti ini kok menjadi heboh berat selayaknya krisis pangan? Cuma sekedar mau kenalan saja kok diperbincangkan dengan sangat serius seperti ini? Hanya karena warga baru itu dekat karena rumahnya berdampingan dengannya kok menjadi persoalan?
Karena menurutnya hal ini adalah hal yang remeh temeh untuk diperdebatkan, sang warga tertuduh ini pun dengan polos meminta maaf jika memang salah. Lalu dia berkata,
"Bapak-bapak sekalian, saya bingung lho, kok bapak-bapak gak berani kenalan sama warga baru yang disalahin saya? Lagipula ketika awal dia datang, kita semua selamatan di rumahnya?", katanya.
"Lha wong, dia juga sudah kenal sama bapak-bapak sekalian...", lanjutnya sambil ngeluyur pergi meninggalkan obrolan warung kopi yang tidak bermutu itu.
Beberapa hari kemudian, diadakanlah sebuah rapat warga. Hampir seluruh warga hadir, pertemuan itu cukup istimewa. Karena sebelumnya belum pernah ada agenda pertemuan yang ingin membicarakan pola komunikasi dan pola berhubungan antar warga seperti sekarang ini. Selama ini hubungan antara warga baik-baik saja. Setiap warga memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi dan cukup harmonis. Tetapi kali ini beberapa pihak dari kampung itu sepertinya sangat mempermasalahkan kedekatan salah satu warga baru dengan lainnya. Dan itu mereka anggap tidak sehat.
Entahlah apa yang mereka pikirkan, lha wong warga yang berdekatan ini sebenarnya adalah saudara jauh. Jadi sebenarnya istri dari warga yang dituduh tidak tahu tata krama komunikasi warga ini adalah cucu dari adiknya kakek sang suami dari warga yang baru tinggal itu. Yang kebetulan juga anak kedua dari warga baru ini teman sekolah dari anak ketiga warga tertuduh. Belum lagi pembantu mereka berasal dari kampung dan dusun yang sama dan memiliki pertalian saudara juga. Dimana pembantu warga tertuduh itu adalah keponakan dari kakak iparnya saudara sepupu si warga baru. Jadi tidak salah toh, jika mereka lebih dekat?
Dalam pertemuan itu, sang warga yang dituduh tidak tahu sopan santun kewargaan datang terlambat. Acara sudah berjalan cukup lama. Setelah memperhatikan perbincangan yang berkembang, warga tertuduh ini memutuskan untuk tidak banyak berbicara. Karena sudah ada beberapa warga yang mengakomodir pokok pembicaraan yang ingin disampaikannya. Karena beberapa warga lain ini, mungkin merasa bingung. Karena memang di kampung itu tidak terjadi permasalahan warga yang serius, terutama masalah komunikasi antar warga, semua tampak normal dan tidak ada masalah. Malah sempat, salah seorang warga berkomentar, jika memang tidak ada apa-apa, buat apa pertemuan ini, kita aja kali nih disini yang mengada-ngada bahwa telah terjadi apa-apa. Dengan senyum kecil warga yang tertuduh ini semakin membenarkan persepsinya tentang obrolan "kosong" di warung kopi tempo hari. Semuanya hanya sebuah tong kosong, tidak ada isinya. Sekedar mencari kambing hitam untuk dipersalahkan untuk kepentingan eksistensialis beberapa warga.
Benar saja memang, keputusan akhir dari pertemuan itu adalah sebuah pertemuan warga rutin untuk mengakrabkan seluruh warga di kampung tersebut. Tetapi waktu dan tempat serta perencanaan pertemuan rutin itu tidak dibahas lebih lanjut. Sudah sampai disitu saja. Tidak jelas. Kosong. Nyaring bunyinya. Dan yang lebih menggelikannya lagi, bahwa ide pertemuan rutin yang seperti ini pernah dilontarkan seorang warga beberapa waktu sebelumnya di warung kopi juga. Tetapi warga yang lain saat itu mencemooh dan mengganggap pertemuan seperti itu buang-buang waktu dan tidak produktif. Dan yang paling lucu dan menggelikan adalah bahwa sampai hari ini tidak ada sosialisasi formal ataupun informal lewat warung kopi tentang hasil pertemuan warga tempo hari kepada warga lain yang tidak sempat datang.
Mmm... Pernah dengan bajaj berjalan ngebut di sebuah terowongan yang panjang dan kosong...?
Sunday, March 16, 2008
Nikmatnya Menjadi Orang Apatis Bag 2 (Kosong dan Nyaring)
Diposting oleh swingtalk di 2:18 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment