Monday, September 24, 2007

Mengantuk

Mengantuk... Betul itu... Hari-hari ini, selama bulan puasa ini, mengantuk menjadi sangat produktif dibandingkan dengan kegiatan lain. Setiap hari, antara jam sebelas siang sampai jam empat sore, kepala sangatlah berat, mata tidak mengerti bagaimana caranya berkedip, dan tangan tiba-tiba terasa kaku dan berhenti bergerak.

Entah kenapa, bulan puasa yang seharusnya memiliki makna ibadah yang tinggi, tetapi rasa kantuk menghalangi...

Saya pernah berhipotesa tentang rasa kantuk yang berkecamuk hebat di bulan puasa ini.

Pertama, adalah karena tubuh kita tidak bekerja secara maksimal, ada beberapa bagian tubuh yang memang sudah tidak bekerja, contohnya lambung, dari waktu sahur, lambung kita sudah kosong dan berhenti bekerja (benar atau tidaknya saya anjurkan untuk melihat kembali buku pengetahuan populer) setelah 4 jam. Sehingga darah pun bergerak lambat, pasokan oksigen pun berkurang, begitu kira-kira.

Kedua, adalah bahwa puasa berarti tidak ada makan dan minum di siang hari sampai waktu berbuka. Berarti kita tidak ada kesempatan untuk sekedar mengobati rasa kantuk dengan kopi atau rokok. Istilahnya mungkin "kerjaan iseng", yah... sebagai teman setia dalam bekerja sehari-hari.

Toh, meskipun rasa kantuk sangat menjejal, tetapi saya sangat merasa bersyukur karena sampai detik ini saya masih penuh berpuasa. Apakah terlalu sombong ya saya memberi tahukan hal ini? Rasanya tidak, toh jarang juga orang yang membaca tulisan ini. Tetapi sombong kepada diri sendiri itu boleh tidak ya?

Friday, August 3, 2007

Cita-cita

"Apa cita-cita mu?", Begitu sering kita mendengar orang dewasa bertanya pada kita saat kita kecil dulu.

"Kalau sudah besar mau jadi apa?"

Yang ditanya (anak-anak) mungkin hanya bisa malu-malu saja menjawabnya. Lalu jawaban yang keluar pun cenderung sama. Mau jadi tentara, dokter, insinyur, atau guru mungkin.

Saya sendiri lupa dulu menjawab apa, yang pasti dari semua jawaban template anak-anak tersebut yang sering saya ucapkan adalah tentara lalu insinyur. Yah, seperti itulah, saya dulu waktu kecil tidak punya gambaran mau jadi apa kalau sudah besar. Sebenarnya saya merasa iri dengan anak-anak yang mampu menjawab pertanyaan itu dengan antusias dan cepat serta mampu memberi alasan kenapa memilih cita-cita itu.

Tulisan ini sebenarnya terilhami dengan acara tv, Absolut 2020, ada seorang anak kecil, Mucchi namanya. Dia tinggal di Amerika sana. Usianya kira-kira 7 tahun. Keluarganya berantakan, ayah seorang penganggur dan pemabuk, kakaknya tidak sekolah dan menjadi berandalan yang akhirnya ditahan karena merampok sebuah toko. Lalu ibunya yang sering marah-marah kepada sang ayah karena tidak bisa menjadi ayah yang baik baik keluarga itu.

Lalu si Mucchi ditanya tentang cita-citanya, dengan antusias dia menjawab ingin menjadi hakim. Mmm... jawaban yang mencengangkan bagi saya, karena saya jarang sekali menerima jawaban itu dari anak-anak. Lalu Mucchi menjelaskan alasannya kenapa memilih cita-cita itu. Dia berkata, bahwa dia sangat tertarik dalam memberi keputusan. Dia tertarik jika seorang perempuan memberi keputusan. Mmm... jawaban yang sederhana tapi sarat akan makna feminisme... (ehehhe... saya meledek pacar saya lewat sms).

Yah... kembali kepada saya waktu kecil dahulu... Saya tidak bisa memberi jawaban yang benar-benar saya cita-citakan. Saya tidak pernah bercita-cita ingin menjadi graphic designer atau hal-hal yang berhubungan dengan iklan.

Setiap orang yang bertanya kepada saya tentang cita-cita, saya hanya menjawabnya dengan template. Menjadi tentara atau insinyur. Itu saja, dan ketika orang bertanya tentang alasan saya. Saya menjawab, kalo jadi tentara seru karena sepatunya bisa bunyi kalo lagi jalan, prok ... prok ... prok... gitu lah. Terus terang saya memang suka sekali dengan bunyi sepatu yang beradu dengan lantai. Buat saya suara itu sangat gagah. Dan bahkan sepatu dengan sol dari karet ketika menimbulkan suara yang beradu dengan jalan aspal atau tanah juga sangat menarik untuk saya.

Lalu untuk jawaban insinyur saya memberi alasan karena mengasyikan jika kita kerjanya hanya menggambar saja. Menggambar dan menggambar... Mmm... Tapi ternyata setelah saya ingat-ingat kembali, saya lebih menyukai gambar-gambar gedung yang belum jadi, gambar gedung yang masih blue print, gambar gedung yang masih berbentuk garis-garis saja tanpa ada fill.

Agak melantur akhirnya saya berbicara tentang cita-cita ini. Tapi memang ternyata jawaban-jawaban yang keluar dari seorang anak kecil itu ada yang benar-benar jawaban mereka yang keluar dari dalam hatinya namun ada pula yang hanya mengikuti template yang ada dengan alasan yang macam-macam. Mungkin jawaban sebenarnya dari cita-cita seorang anak ada di alasan mereka.

Kembali pada lanturan tentang cita-cita...

Saya juga sangat menyukai kegiatan mengamati. Terutama ketika naik bis atau mobil. Saya sangat menikmatinya ketika memandang dan memperhatikan salah satu sudut yang paling reot di dalam bis itu. Entah kenapa, menurut saya sudut itu sangat mengasikkan untuk dilihat. Akhirnya saya sering bermain dengan bentuk kotak atau balok. Karena hal yang "mengasikkan" dengan sudut-sudutnya.

Mungkin dari situ saya suka sekali memperhatikan hal-hal yang mendetail, meskipun kadang-kadang luput juga.

Ah... cita-cita...
Sekarang apa lagi cita-cita saya ya?

Tuesday, July 24, 2007

Pungli

Tentang kekuasaan dan pungli yang semakin merajalela disini. Di Indonesia. Semua orang memperebutkan sesuatu, apa itu?
Tidak tau saya, yang pasti "UUD", ujung-ujungnya duit.

Beberapa hari yang lalu saya mendapat email tentang sebuah lomba membuat PSA. Tema dari lomba PSA itu adalah lawan pungli sekarang juga. Bagaimana caranya melawan pungli? Apakah dengan sebuah lomba PSA kita bisa melawan keberandalan para punglitor itu? Saya tidak melihat sebuah jawaban.

Hal ini, menurut saya sama seperti kita berteriak-teriak di jalan dengan siraman terik sinar matahari tentang sebuah isu sosial yang mengganggu hajat hidup orang banyak di negeri ini. Tetapi mana hasilnya? Nol besar. Semua kembali sirna seperti sirnanya sinar matahari ditelan ombak awan senja yang berujung pada gelapnya malam. Semua kembali tenang. Orang-orang yang berteriak-teriak tadi siang kembali tenang masuk ke peraduannya masing-masing dan kembali ke negeri utopianya. Sedangkan orang-orang yang diteriaki tadi siang kembali tenang, keluar dari kolong meja tempat mereka sembunyi dan mengucapkan terima kasih kepada para penjaganya. Lalu pulang melenggang... Berharap esok tak ada lagi yang mengganggu jadwal makan siang mereka.

Jadi sebenarnya, kita pun sama... Ketika berteriak dan terus berteriak dalam ruang hampa yang kedap suara. Orang-orang di luar sana hanya mampu melihat mimik kita dan gerak bibir kita. Berteriak dalam bisu dan mendengar dalam tuli. Ah... sebuah paradox yang akan seperti ini terus sampai nanti. Kata orang pintar sih, ada Satria Piningit yang akan menyelamatkan kita dan merobohkan dinding paradox itu. Ingat "katanya" adalah sesuatu yang tidak bertanggung jawab.

Ketika ditanya, apakah saya akan ikut berteriak dalam bisu? Oh, saya adalah partisipan yang baik dalam hal ini. Biarlah saya ikut serta berteriak dalam bisu. Berteriak Lawan Pungli sekarang juga... Hahahha... Terdengar lucu bukan? Tetapi paling tidak saya bisa ikut meramaikan suasana ruang hampa itu agar lebih berwarna.

Wednesday, July 18, 2007

Sepak Bola dan Merah Putih

Semua orang di negeri ini sudah bisa dipastikan sebagian besar menyukai olah raga sepak bola. Ada apa sebenarnya dengan sepak bola dan negeri ini? Ah, ini hanya sekedar latah saya saja dengan kejuaraan Piala Asia yang sedang berlangsung. Semua orang termasuk pacar saya, yang secara tiba-tiba menyukai sepak bola. Dia berkata, "Ini kandang kita, membuat saya tiba-tiba menjadi nasionalis." Slogan yang cukup membuat bulu kuduk merinding, apalagi ditambah dengan visual yang sebesar itu di sepanjang jalan Asia-Afrika.

Ini kandang kita...! Iya benar sekali... Apakah Merah Putih bisa berkibar di kandang sendiri? Apalagi sekarang sudah mulai banyak kompetitor yang ingin berkibar juga. Sebut saja RMS dan Negara Papua Merdeka. Tetapi saya tetap percaya dengan salah satu teori pemasaran. "Mejadi yang pertama akan selalu lebih menguntungkan dibandingkan menjadi yang terbaik."

Sudahlah... tulisan ini adalah tentang sepak bola dan merah putih, bukan separatis dan merah putih. Mungkin lain waktu akan saya buat tulisan mengenai itu.

...

Maaf kepotong sedikit, karena saya harus menyaksikkan pertandingan Merah Putih dahulu tadi. Hasilnya sudah terlihat 1-0 untuk Korea Selatan. Apa pendapat anda tentag pertandingan itu? (bagi yang menonton tentunya). Jika anda tanyakan kepada saya, jawaban saya adalah "sudah biasa..., tak sedih lagi". Betul kan? Apa yang harus kita sedihkan? Lah wong, sudah biasa kalah kok. Kecuali kalo menang, wah..., saya bisa traktir anda semua yang membaca tulisan ini.

Coba kita perhatikan, pasti banyak pembicaraan mengenai pertandingan Merah Putih dan Korea Selatan itu. Yang sering saya dengar ketika membahas pertandingan sepak bola Merah Putih dan tentu saja dengan keadaan seperti yang sudah-sudah (kalah). Wasitlah yang dibicarakan..., wasitnya curang, wasitnya berpihak, wasit tidak tegas, wasit ini..., wasit itu..., dan lain-lainnya. Coba salahkan diri kita sendiri, kenapa kita tidak menjadi wasitnya saja? Atau mungkin kenapa kita tidak menghakimi itu pengurus PSSI yang korup. Ya, siapa lagi selain Nurdin Khalid... Ah, sudahlah, malas saya ketika harus membahas manusia-manusia korup itu. Yang ingin saya bahas adalah kebiasaan kita mencari kambing hitam atas kegagalan yang kita buat sendiri. Sampai kapan kita harus mencari kambing hitam terus? Karena saya rasa banyak sekali kambing hitam yang berkeliaran di luar sana. Kambing hitam mana yang musti menanggung semua ini? Coba kita berkaca, ya cobalah berkaca, kita pasti akan melihat seekor kambing hitam besar yang bibirnya berbusa dan suaranya serak karena sering berteriak-teriak mencari kambing hitam. Tidak sadar bahwa dia sedang mencari dirinya sendiri.

Yah, seperti itulah kita..., bisanya hanya berbicara dan berkomentar (seperti yang saya lakukan ini). Tetapi ketika disuruh bertindak dan berbuat... Mmm..., anda sudah bisa mengira-ngira akan seperti apa jadinya nanti. Tidak percaya? Coba anda tanyakan pada diri anda sendiri? Sekali lagi kambing hitam yang dicari... Pernah kan?

Sepak Bola ... Merah Putih ... Ini kandang kita? Yah, masih tetap ini kandang kita, meski harus kalah dalam kandang. Tetap ini kandang kita. Merah Putih sudah berjuang dengan semangat tak kunjung padam. Memang harusnya seperti itu dan tidak ada yang istimewa dengan hal itu. Siapa pun yang ingin menang, semangat adalah yang nomor satu selebihnya hanya sebuah faktor pendukung. Teknik? Ah, mau bicara teknik sepak bola dari negeri yang penjajahnya saja tidak pernah juara dunia. Apa yang mau diharapkan? Memang Belanda memiliki total football, tetapi Indonesia menterjemahkannya dengan teknik orak arik...!

Ah... Apalagi ya...? Sumpah serapah apa lagi yang bisa kita keluarkan untuk diri kita sendiri?

Oh, iya satu lagi, kita juga selalu cepat puas dengan segala keberhasilan yang kita buat. Padahal keberhasilan itu bukan hal yang memuaskan menurut saya, ada keberhasilan lain di atasnya. Dan begitu terus, keberhasilan itu seperti anak tangga yang bergerak naik pada eskalator, yang menuntut kita untuk tidak berdiam diri. Jika kita berdiam diri maka kita akan turun... dan kita akan kembali pada titik awal lagi. Ah... ceramah apa lagi ini...? Maaf kalo saya terdengar seperti menceramahi, maklum lah, ini bagian dari sumpah serapah saya.

Apa yang kita bisa perbuat untuk bisa berhasil? Wah, jangan tanyakan hal itu kepada saya, karena sekarang saja saya sedang bingung kenapa eskalator yang saya naiki ini bergeraknya cepat sekali ya... Cape saya, dan akhirnya mengambil nafas lagi deh di bawah.

Tadi pagi, sahabat saya membawakan sebuah buku, judulnya Perfect Pitch karya Jon Steel, salah seorang maestro di bidang marketing dan pemasaran, dia adalah strategic planner. Saya tertarik oleh sebuah kutipannya yang diambil dari Bill Bernbach. Kutipan itu berbunyi begini kira-kira, "In this very real world, good doesn't drive out evil. Evil doesn't drive out good. But the energetic displaces the passive".

Tetap semangat adalah penutup dari tulisan yang menemani kekalahan kita hari ini.

Pintu dan Kemerdekaan

Pada suatu masa ketika pintu tidak lagi digunakan dan sudah ditinggalkan oleh semua orang. Pada masa itu semua orang tidak mengenal apa yang namanya pintu. Semua ruangan dalam sebuah bangunan tidak ada lagi yang membatasi selain tembok. Tempat keluar masuk hanya berupa lubang besar dibentuk sesuai kreasi.

Coba kita kembali ke masa ketika semua orang masih menggunakan pintu... Mmm... Sebuah masa kegelapan mungkin pikir orang-orang yang akan datang. Pintu dengan segala persoalannya, engselnya karatan, kuncinya hilang, daun pintunya rusak, gagang pintunya kendor, dan lain-lainnya. Pintu pula akhirnya yang membuat sebuah perbedaan dan membatasi ruang gerak seseorang. Tidak ada kebebasan ketika masih ada pintu.

Seorang atasan selalu menuntut ruang yang lebih private dan menuntut orang-orang di bawahnya untuk mengetuk pintunya terlebih dahulu ketika ingin masuk. Sebuah tata krama memang, tetapi coba bayangkan ketika setiap hari ada 10 orang yang mengetuk pintu itu pada waktu yang berlainan pastinya. Coba singkirkan sejenak masalah jeda waktu, nanti kita akan mendengarkan sebuah nada yang keluar. Lalu apa hubungannya dengan tuntutan tata krama tersebut? Tidak ada. Benar tidak ada hubungannya memang. Hanya sesuatu yang ngelantur kok ini.

Mmm... Saya sendiri tidak jelas dengan isi pada paragraf ketiga di atas. Apakah anda merasa jelas? Saya serahkan pada anda.

Lalu sekarang apa pula hubungannya dengan kemerdekaan si pintu itu? Pintu dan Kemerdekaan... Mmm... Saya sedikit tergelitik sebenarnya dengan judul di atas. Secara tertulis dalam sejarah negeri ini dan berulang-ulang kali kita bacakan setiap upacara bendera. Saya tidak pernah mendengar bahwa perjuangan pergerakkan kemerdekaan Indonesia juga memberi kunci pintu gerbang dari pergerakkan kemerdekaan itu sendiri.

Dimana kunci itu ya? Mereka hanya mengantarkan sampai depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia. Mmm... Hilang mungkin ketika perang gerilya berlangsung atau ketika perang 10 November atau mungkin Pangeran Diponegoro lupa mengamanatkan kunci itu kepada bawahannya. Ah... banyak sekali kemungkinannya. Oh iya, Jendral Sudirman mungkin tahu dimana letak kunci itu. Ah, sudah lupakan Jendral Sudirman, sekarang dia sudah damai disana. Sekarang masalahnya adalah kita sudah sampai pintu gerbang ini dan tidak ada kuncinya untuk membuka. Kita hanya diantar sampai pintu gerbang yang tinggi menjulang tanpa diberi kunci. Mmm... Tidak ada kunci, tidak bisa masuk. Pantas sampai sekarang kemerdekaan itu masih berkabut.

Kembali pada masa dimana pintu sudah tidak dikenal keberadaannya.

Tidak ada pintu pada masa ini, semua serba terbuka, tidak ada yang membatasi kecuali tembok. Semua tempat bisa kita masuki tanpa ada batas tanpa perlu minta izin dengan mengetuknya tanpa perlu takut kehilangan kunci dan tidak perlu takut jika tidak bisa masuk atau keluar.

Sebuah masa dengan kemerdekaannya tersendiri dan kebebasannya tersendiri.

Masih perlukah kembali pada masa dimana pintu itu masih ada. Apakah itu sebuah zaman reneisance?
Pintu....
Ketuklah dulu ketika bertamu
Sebuah masa yang telah lalu
Biarlah berlalu...